Berita  

“Aku Yang Tak Dianggap”

PasangkayuNews.com — Pagi itu, aku berangkat ke sekolah dengan tergesa-gesa. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Padahal, aku baru saja selesai membersihkan sebagian pekerjaan rumah.

Aku panik. Tak sempat lagi mencuci piring di wastafel.

Aku hanya bisa bergegas pergi, meninggalkan rumah dengan pekerjaan rumah yang belum rampung.

Tak kusangka, setelah aku pergi, ibu sambungku datang.

Ia melihat piring-piring kotor yang masih menumpuk di wastafel.

Siang harinya, sepulang sekolah, begitu aku membuka pintu rumah, aku langsung disambut
dengan omelannya.

“Mengapa pagi tadi kamu tidak membersihkan rumah sebelum berangkat?” tegurnya dengan
nada tinggi.

Aku menunduk, menahan air mata. “Maaf, Bu. Tadi aku sudah bersih-bersih, tapi saat lihat jam sudah pukul 07.30. Aku takut terlambat ke sekolah, jadi belum sempat cuci piring,” jawabku
pelan.

Ibu sambungku tidak menggubris.

Ia membalikkanku dan masuk ke dalam kamarnya.

Tak lama kemudian, ia menelpon ayahku yang sedang bekerja. Entah apa yang ia katakan, tiba-tiba saja ayahku menelponku dengan nada marah.

“Kenapa kamu tidak membantu ibumu membersihkan rumah sebelum berangkat?” tanya ayahku tajam.

Aku terdiam sesaat, mencoba menahan kecewa.

“Maaf, Yah. Aku sudah bersih-bersih, tapi
karena takut terlambat sekolah, aku belum sempat mencuci piring,” jelasku lirih.

Beberapa detik setelah itu, ayah langsung memutuskan telepon. Aku hanya bisa duduk terdiam, menangis dalam sepi. Dalam hati, aku bertanya, “Apakah ayah juga tidak menyayangiku?”

Aku menarik napas panjang, menghapus air mata, lalu kembali menyelesaikan pekerjaan rumah yang tadi tertunda.

Ternyata, masalah tak berhenti di sana. Konflik baru kembali muncul. Aku yang sudah tak sanggup lagi, akhirnya memutuskan pergi dari rumah, tanpa berpamitan.

Tiga hari aku menghilang.

Aku kembali, hanya untuk mengambil pakaian yang masih tersisa.

Namun, saat aku membuka pintu, ibu sambungku langsung menyambutku dengan tatapan tajam.

Ia menyuruhku duduk di depannya.

“Kenapa kamu pergi tanpa izin dariku?” tanyanya penuh emosi.

Aku hanya tertunduk, diam tanpa kata, mendengarkan semua omelannya yang tak ada habisnya.

Hingga akhirnya, ia mengusirku dengan kalimat yang sangat menyakitkan.

“Silakan pergi dari rumahku! Dan jangan pernah lagi menginjakkan kaki di sini!”
Hatiku hancur. Namun, aku tetap diam. Tanpa sepatah kata pun, aku beranjak, masuk ke kamar,lalu mengemasi semua pakaian yang ingin kubawa.

Setelah itu, aku pun pergi. Tanpa menoleh, tanpa berpamitan.

Dari semua yang terjadi, aku belajar satu hal. Tidak semua orang bisa mengerti perasaan orang lain. Kadang, orang hanya menilai dari apa yang mereka lihat, tanpa tahu perjuangan di baliknya.

Aku sadar, hidup di tengah keluarga yang tak sepenuhnya menerimaku memang bukan hal mudah.

Tapi aku percaya, setiap luka akan menguatkanku.

Meski hatiku remuk, aku tak boleh berhenti melangkah.

Aku harus tegar.

Mungkin, rumah ini memang bukan tempatku lagi.

Namun, aku yakin, di luar sana Tuhan telah menyiapkan tempat yang lebih baik untukku, tempat di mana aku bisa merasa diterima dan disayangi sepenuh hati.****

Selesai.

Nama Penulis Cerpen Karya Ilmiah : Mirayanti , Mahasiswi Semester 2 dari Kampus STKIP TOMAKAKA TIWIKRAMA yang lokasinya berada di Pasangkayu , salah satu Kampus yang berada di Sulawesi Barat.

Editor: Muhammad NurNas Islam
Exit mobile version