Berita  

Andini’s Dream

Muhammad Nurnas Islam

PasangkayuNews.com — Hai, namaku Andini.Aku anak ke dua dari tiga bersaudara, bisa dibilang aku ini anak tengah. Kakakku Syifa, dua tahun lebih tua dariku, dia cantik, dia pintar, berbakat, prestasinya bagus, dan dia famous di sekolah.

Dia menjadi anak kebanggaan di keluargaku , menjadi anak yang selalu diperkenalkan kepada rekan kerja ayah dan ibuku.

Adikku Rara si anak bungsu yang imut dan manja, dia selalu bisa membuat orang-orang disekitarnya tertawa karena tingkah lucunya itulah mengapa dia mudah menarik perhatian orang-orang disekelilingnya.

Lalu aku? Aku Andini. Si anak tengah. Tidak sepintar Syifa dan tidak selucu Rara. Aku ada disekitar mereka namun selalu dipandang sebelah mata.

Sedari kecil aku terbiasa mendengar perkataan orang tuaku seperti :

“Belajar dari kakakmu sana, dia berprestasi disekolah”.

“Kamu ini bisa ngak jaga adikmu?”
“Kamu ngalah aja adikmu lebih butuh”.

Kalimat itu seperti makanan sehari-hari ku, apalagi kata mengalah itu ibaratkan perintah yang harus aku patuhi.

Mengalah dalam banyak hal, seperti perhatian, waktu, bahkan kasih sayang.

Ibu selalu sibuk mengurus kakak dan adikku, Ayah selalu membahas kakak ketika di rumah.

Lalu aku? Aku tak pernah masuk kedalam ranah perhatian Ayah dan Ibu. Aku bukannya tak mau berusaha namun aku selalu dipandang sebelah mata.

Aku pernah masuk lima besar, dengan semangat aku memberikan nilai ku pada ayah dan ibu namun, respon mereka hanya tersenyum dan berkata “Goodjob, tapi masih kalah jauh dari Syifa”.

Mendengar kalimat yang terlontar dari Ayah itu membuat hatiku seperti tertusuk duri, kata pepatah sih “sakit tapi tak berdarah”.

Setelah kalimat itu, aku menoleh pada Ibu namun respon yang ku dapatkan ternyata sama seperti respon Ayah, “benar kata ayahmu kamu ini masih kalah jauh dari Syifa, makanya kalau ibu sama ayah suruh belajar itu didengerin lihatkan jadinya”.Kata ibu, jujur setelah mendengar perkataan kedua orang tuaku yang seperti itu mataku langsung berkaca-kaca.

Namun aku mencoba untuk menahannya aku tak mau mendengarkan kalimat yang malah menambah beban hatiku.

Setelah kejadian itu, aku mulai belajar menyimpan semuanya sendiri. Tidak ada tempatku untuk mengadu. Bahkan ketika aku merasa sedih, aku hanya berdiam diri di kamar dan menangis diam-diam.

Aku mulai belajar melakukan semuanya sendiri, aku selalu berharap banyak, namun aku tak berani untuk menuntut banyak.

Dibalik itu semua, aku diam-diam suka bernyanyi, aku sering mendengarkan dan menghafalkan lagu favoritku.

Bahkan aku punya channel yang dimana itu menjadi tempat aku berbagi tentang hobiku.

Aku sudah banyak mengupload video diriku saat bernyanyi dan aku bersyukur banyak orang yang menyukai suaraku.

Namun di dalam video itu aku tak menampakkan wajahku, alasannya karena aku tak mau orang tuaku melihat video itu dan melihat diriku.

Aku tak punya alasan khusus, aku hanya tak ingin saja, aku takut mereka tak akan mendukung bakat ku ini.

Singkat cerita pada saat aku kelas 1 SMA, aku mulai bergabung di ekskul musik. Di ekskul itu aku mulai mengasah kemampuan ku dalam bernyanyi dan aku juga mulai belajar bermain gitar.

Aku juga mendapat banyak teman-teman baru di sana, aku senang karena dengan aku bergabung di ekskul ini aku jadi tidak terlalu memikirkan tentang masalah yang ada di rumah.

Satu bulan kemudian kami mendapatkan informasi dari guru pembina ekskul kami, bahwa akan ada lomba band battle bulan depan.

Sontak semua teman-temanku mengusulkan untuk diriku saja yang mewakili sekolah kami.

“Din gimana kalau kamu aja yang jadi vokalis kita? Suara kamukan bisa dibilang paling bagus di antara kita semua”. Kata Rani salah satu teman ku di ekskul. “Emangnya ngak apa-apa kalau aku yang nyanyi?” tanyaku dengan nada yang ragu-ragu. “ Iyah ngak apa-apa Din, kamu aja yang jadi vokalis kita” ucap Rani lagi. Mendengar ucapan temanku aku langsung terharu, karena mereka memberikan kepercayaan kepadaku.

“Mungkin inilah saatnya aku buktikan ke ayah dan ibu, kalau aku bisa berkembang dengan caraku sendiri” ucapku dalam hati dengan mataku yang berkaca-kaca.

Dengan ditunjuknya aku sebagai vokalis, aku dan teman-teman mulai giat berlatih.

Kami berlatih dari pagi hingga malam hari, kami berlatih dengan keras karena waktu kami hanya sebulan.

Setelah latihan selesai kami semua memutuskan untuk pulang kerumah masih-masing. “Din kamu pulang dengan siapa? Tanya Bayu, salah satu temanku yang ada di ekskul juga. “Aa Iyah, aku pulang naik bus Bay” ucapku.

“Gimana kalau kita barengan aja mumpung rumah kita searah, apalagi jam segini bus ke rute rumah kamu juga udah ngak ada pasti”. Ujar Bayu, kebetulan kami selesai latihan jam sembilan malam.

“Emangnya ngak ngerepotin Bay? Tanyaku kepadanya. “Ngak kok Din, lagian bahaya kalau kamu naik bus malam-malam apa lagi kamu sendiri” ucap Bayu. “Yaudah kalau gitu makasih ya” ucapku sambil naik ke motor Bayu.

Singkat cerita, kami berdua pun sampai di depan rumahku. “Bayu makasih ya sekali lagi udah nganterin aku pulang”. “Iyah Din sama-sama. Kalau gitu aku balik ya”. “Iyah hati-hati” ucapku.

Setelah Bayu pergi, aku langsung masuk ke dalam rumah.

Saat baru masuk aku melihat ayah di ruang tamu sambil menatap tajam ke arahku “dari mana kamu? Kenap jam segini baru pulang? Tanya ayah dengan nada datar.

“A..aku dari latihan yah sama teman-teman di sekolah” jawab ku dengan nada gemetar dan pandangan tertunduk. “Latihan? Latihan apa kamu jam segini baru pulang. Kamu itu, coba liat kakakmu selesai sekolah langsung pulang kerumah. Harusnya kamu bisa dong contoh sikap baik kakakmu itu, jangan karena ayah sama ibu jarang perhatiin kamu, kamu jadi mau berperilaku kayak anak nakal di luar sana. Ingat Din kamu ini anak perempuan jangan sampe kamu berbuat yang tidak-tidak di luar sana yang bisa bikin malu ayah sama ibu”.

Mendengar perkataan ayah aku hanya bisa terdiam dan menahan air mataku. “Maaf yah” aku hanya bisa meminta maaf karena ini memang salahku tidak mengabari orang rumah jika aku pulang terlambat.

Aku bukannya tidak mau bilang, tapi aku lupa karena terlalu serius latihan. “Hmm” ujar ayah. Setelah itu ayah langsung pergi dari hadapanku tanpa menoleh sedikitpun.

Melihat ayah yang sudah pergi, aku sontak langsung mengangkat pandangan dan menatap kepergian ayah dengan nanar.

Sebulan telah berlalu, tibalah waktunya aku dan teman-temanku untuk lomba band battle, kami semua merasa sangat nervous karena sangat banyak peserta dari sekolah-sekolah yang ada di Bandung.

Singkat waktu giliran grup ku dan teman-temanku yang dipanggil untuk tampil, kami berkumpul dan berdoa bersama agar semuanya berjalan lancar. “Baik semuanya ayo kita berdoa bersama-sama semoga penampilan kita berjalan dengan lancar.

Apapun hasilnya kita harus terima, yang terpenting kita sudah menampilkan yang terbaik di sini” ucap Pak Saiful selaku pembina ekskul kami.

Di atas panggung aku sangat gugup, aku khawatir tidak bisa memberikan yang terbaik untuk sekolah dan teman-temanku, namun aku teringat ucapan Pak Saiful “Din ini bukan tentang menang atau kalah, tapi ini tentang bagaimana kamu berusaha menampilkan yang terbaik untuk semua orang”. Mengingat itu aku langsung mengambil nafas pelan-pelan dan mulai bernyanyi. Aku membawakan lagu Skyscraper dari Demi Lovato, aku ingin menyampaikan perasaanku lewat lagu ini bahwa aku bisa bangkit dari keterpurukan ku.

Setelah grup ku tampil dan grup-grup lainnya, kini sudah tiba waktunya untuk mengumumkan sang juara, “baiklah adik-adik semua kini kita akan mengumumkan siapa diantara adik-adik semua yang menjadi juara 1” ucap panitia lomba.

Aku dan teman-teman sudah pasrah jika bukan kami yang menjadi juara satunya. “Huft… walaupun kita tidak menjadi juara satu, yang penting kita sudah menampilkan yang terbaik.

Tapi aku sih berharap kalau kita yang jadi juara satunya” ucap Bayu. Setelah berkata seperti itu, panitia menyebutkan bahwa sekolah kami yang menjadi juara satu, “selamat kepada adik-adik dari SMANSA Bima Sakti”. Sontak kami semua saling berpandangan, kami tak menyangka kami yang menjadi juaranya, kami bersorak sambil berpelukan dan menangis terharu.

“Alhamdulillah terimakasih ya Allah” ucapku.

“Selamat anak-anak kalian sangat hebat, yasudah sana kalian segera naik ke panggung untuk ambil piala dan hadiahnya”.

Setelah pengambilan hadiah kami semua mengambil moment-moment bersama dengan teman-teman yang lain. Setelah selesai kami pulang dan kembali ke sekolah untuk mengumumkan dan merayakan kemenangan kami bersama pihak sekolah dan teman-teman yang lain juga.

Kini aku sedang dalam perjalanan pulang kerumah, setelah perayaan disekolah tadi.

Diperjalanan aku selalu tersenyum, aku tak sabar ingin memberi tahu orang di rumah bahwa aku menang lomba dan lolos ke tingkat nasional.

Saat tiba di rumah aku melihat ayah dan ibu sedang duduk sambil berbincang Santi di ruang tamu, “ayah ibu” panggil ku. “Kenapa?” tanya ayah. “Yah aku punya kabar gembira, aku tadi…” belum sempat aku menyelesaikan ucapan ku, tiba-tiba saja adikku datang dari arah luar, “yah ayah tau ngak? Minggu depan aku ada lomba mewarnai di sekolah” ucap adikku dengan nada yang ceria.

“Wah beneran, hebat banget anak ayah”. “Yaudah gimana kalau kita jalan-jalan sekarang? Sekalian cari pensil warna baru buat adik, biar tambah semangat lombanya nanti” ucap ibu. “Mau Bu, yaudah ayo kita pergi sekarang. Ayo ayah adik ngak sabar mau beli pensil warna baru” ucap adikku.

“Yasudah ayo, tapi kamu ganti baju dulu sama ibu ya” setelah mengatakan itu adik dan ibu langsung menuju ke kamar untuk ganti baju. “Jadi kamu mau bilang apa tadi Din? Tanya ayah. “Ngak jadi yah, aku lupa tadi mau bilang apa” ucapku.

“Oh yaudah sana kamu masuk kamar ganti baju, terus jangan lupa itu beresin dapur”. “Eumm yah boleh ngak aku ikut buat jalan-jalan?” tanyaku.

“Ngak usah, kamu itu udah ngede ngapain mau ikut terus” mendengar jawaban ayah, aku ingin sekali menjawab “terus gimana sama kakak, ayah selalu ngajak kakak tapi kalau aku selalu aja dijawab kayak gitu”. Tapi aku tak berani, aku hanya mengiyakan saja ucapan ayah padaku.

Beberapa bulan telah berlalu, kini aku sudah tiba di semester akhir untuk penaikan kelas 11 dan hari ini adalah penerimaan raport dan aku juga sudah memberi tahu ayah untuk datang mengambil raport ku. Ayah sudah tiba di kelasku dan kini giliran ku nama ku yang dipanggil, aku maju bersama ayah dan duduk di hadapan wali kelas ku.

“Nah, ini pak nilai-nilai Andini selama semester akhir ini, semua nilainya bagus-bagus dia juga selalu berperilaku baik di sekolah” ucap wali kelasku. “Ah Iyah Bu terimakasih” ucap ayah.

Aku melihat ayah serius memperhatikan nilai-nilai ku, namun aku tak melihat ekspresi apapun di wajahnya, “apa ayah masih kurang dengan nilai ku? Kenapa ayah tidak memberikan reaksi apa-apa. Biasanya ayahkan langsung menatap ku dengan pandangan datar kalau dia merasa kurang dengan nilai ku” ucap ku dalam hati.

“Owh Iyah pak saya mau mengucapkan selamat kepada bapak, Andini kemarin menang lomba band battle bersama teman-temannya dan mereka lolos untuk mewakili nama sekolah ke jenjang nasional pak”.

Mendengar ucapan wali kelas ku aku melihat wajah ayah yang terkejut, namun itu tidak bertahan lama ayah hanya merespon dengan senyuman dan ucapan terimakasih. Setelah giliran ku selesai, kini aku dan ayah sedang menuju ke parkiran sekolah. Di perjalanan menuju parkiran ayah hanya diam saja dari tadi, aku tidak tau apa yang sedang dipikirkan ayah, aku juga takut untuk bertanya. Pikiran-pikiran negatif sudah memenuhi kepala ku, “apa ayah tidak suka yah kalau aku ikut lomba band battle”, “apa ayah tidak suka kalau aku jadi penyanyi” dan masih banyak lagi pikiran-pikiran negatif yang ada di pikiran ku.

Saat tiba di parkiran aku melihat ternyata ada ibu dan adikku juga, ku kira ayah hanya datang sendiri ternyata bersama ibu dan adikku. “Din” panggil ayah saat kami sudah sampai di parkiran. “Iyah ayah?” tanyaku.

“Kenapa kamu ngak bilang ke ayah sama ibu kalau kamu menang lomba dan lolos ke tingkat nasional?” tanya ayah. “Maaf yah Dini tidak bermaksud untuk tidak memberitahukan ayah sama ibu, tapi kalian terlihat sibuk terus jadi aku tidak sempat untuk mengatakannya” ucapku sambil melihat ke arah ayah dan ibu.

“Din ayah sama ibu yang harusnya minta maaf, ayah sadar selama ini ayah selalu menuntut kamu untuk jadi seperti kakakmu. Ayah sama ibu juga sadar bahwa kami selalu kurang memperhatikan kamu” ucap ayah sambil menatap ku dengan pandangan yang penuh dengan penyesalan.

“Iyah Din ibu juga minta maaf, maaf kalau selama ini kami menjadi orang tua yang kurang baik untuk kamu” ucap ibu. “Ayah sama ibu jangan berbicara seperti itu, aku ngerti kok, ayah sama ibu adalah orang tua yang terbaik menurut aku. Justru aku mau berterima kasih sama ayah dan ibu, kalian masih mau ngurus aku walaupun aku belum bisa ngasih apa-apa buat ayah dan ibu” ucapku dengan suara yang bergetar menahan tangis.

Mendengar perkataan ku sontak ayah dan ibu langsung memelukku sambil menangis, “maafin ayah sama ibu ya nak, selama ini selalu nuntut kamu, selalu ngekang kamu, dan kurang memperhatikan kamu” ucap ayah disela-sela tangisannya. Aku hanya diam mendengar ucapan ayah, aku hanya menikmati pelukan hangat mereka sambil menangis.

“Mulai sekarang kamu ngak perlu maksain diri, kamu jadi diri kamu sendiri aja. Kamu boleh ngelakuin hal kamu suka dan kamu tidak perlu menjadi seperti kakakmu Syifa. Selagi itu hal yang positif ayah sama ibu akan selalu ngedukung kamu” ucap ibu sambil mencium keningku.

Ucapan itu seperti terngiang-ngiang di kepala ku. Aku memandangi mereka dengan pandangan yang tak percaya, “ayah sama ibu serius” tanyaku masih dengan pandangan yang tak percaya. “Iyah nak kami serius, sekali lagi maafin ayah sama ibu yah nak” ucap ayah.

Langsung saja aku peluk lagi mereka berdua dengan tangisanku yang semakin keras “makasih Bu, makasih ayah Dini janji ngak akan ngecewain ayah sama ibu” ucapku. Ayah dan ibu hanya memelukku dengan erat dan mengusap kepala ku sambil tersenyum. “Loh kok adik sama kakak ngak di peluk juga Din” tanya Kakakku.

Aku langsung mengalihkan perhatianku ke mereka berdua, aku tidak tau kapan kakakku datang, aku sudah melihatnya ketika dia bertanya kepada ku. Tanpa membalas perkataannya aku langsung berlari kearah mereka berdua dan memeluk mereka, “maafin kakak yah selama ini Kakak selalu diam ketika kamu dimarahin ayah, sebenarnya kakak mau bantu kamu. Tapi kakak takut soalnya ayah seram kalau lagi marah” ucap kakak.

Mendengar ucapan itu aku langsung tertawa “haha… Iyah kak ngak apa-apa aku ngerti kok. Ayah emang seram kalau lagi marah” ucapku.

“Oh jadi gitu, sini kalian berdua biar ayah hukum” ucap ayah sambil berjalan ke arah aku dan kakak. Mendengar itu sontak saja kami berdua berlari menjauh sambil berkata “ampun ayah” ucap kami serentak.

Kami terus berlarian di area parkiran, ibu dan adik hanya menertawakan kami saat ayah berhasil menangkap dan menjewer telinga kami berdua.

“Rasakan ini dasar kalian berdua memang anak nakal. Adik jangan kayak kakak-kakak mu yah” ucap ayah sambil menatap ke arah adikku. “Siap bos” balas adikku dengan pose hormat.

Aku memandangi mereka semua dengan pandangan haru, aku tak menyangka ternyata dengan menangnya aku mengikuti lomba band battle ini, membuat ayah dan ibu sadar bahwa aku bisa berkembang dengan caraku sendiri. Aku berharap ini bukan mimpi, aku akan mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan pak Syaiful nanti.

Aku langsung terbangun dari tidurku dengan air mata yang jatuh di pipiku aku mengusapnya, “ternyata cuma mimpi” aku berkata dengan pelan dan tersenyum miris, aku baru ingat setelah aku membersihkan dapur aku langsung masuk kamar dan tertidur karena rasa lelah dan aku juga baru ingat kalau ayah, ibu, dan adikku pergi jalan-jalan untuk membeli pensil warna baru untuk lombanya Minggu depan.

Aku termenung andai saja mimpi yang aku mimpikan tadi bisa terwujud betapa bahagianya aku, aku berharap semoga mimpi ini bisa menjadi kenyataan di masa depan, “Ya Allah semoga engkau bisa mewujudkan harapan ku ini” doa ku dalam hati. Setelah itu aku bangun dan bersih-bersih untuk menunggu kedatangan mereka semua kerumah.

“Dini kamu jangan nyerah, pasti ada saatnya mereka akan mengakui kalau kamu bisa berkembang dengan caramu sendiri” ucapku untuk diriku sendiri. Dan yah aku hanya bisa berdoa kepada yang maha kuasa semoga semua harapan ku bisa terwujud.****

Biodata Penulis

Nama : Fajrah, Seorang Mahasiswi Semester 2 dari Kampus STKIP Tomakaka Tiwikrama Pasangkayu,Salah satu Kampus yang berada di Provinsi Sulawesi Barat.

Editor: Muhammad NurNas Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *